Lebih jauh lagi, fenomena ini bisa jadi mencerminkan kondisi masyarakat kita yang masih terjebak dalam "budaya gelar".
Baca Juga:
Kita seringkali lebih mengagumi gelar daripada substansi dan kontribusi nyata seseorang. Padahal, sejatinya, nilai seseorang tidak diukur dari gelar yang disandangnya, melainkan dari manfaat yang ia berikan kepada masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan.
Bagi para politisi atau tokoh publik yang mengejar gelar profesor, mungkin ada baiknya untuk merefleksikan kembali motivasi mereka. Apakah gelar itu akan digunakan untuk memberikan sumbangsih nyata dalam dunia akademik? Atau hanya sekadar menambah daftar prestasi pribadi?
Jika memang ada keinginan tulus untuk berkontribusi dalam dunia akademik, mengapa tidak fokus pada penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan terlebih dahulu, baru kemudian gelar akan mengikuti sebagai konsekuensi alami dari dedikasi tersebut?
Kita perlu mengembalikan makna sejati dari gelar profesor. Ia bukan sekadar simbol status atau alat untuk meningkatkan elektabilitas politik. Profesor adalah mereka yang dedikasi hidupnya tercurah untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan pencerahan masyarakat. Mereka adalah sosok yang tidak hanya brilian dalam teori, tetapi juga mampu mengaplikasikan keilmuannya untuk memecahkan masalah-masalah nyata di masyarakat.
Akhirnya, mohon dicatat, sudah saatnya kita lebih menghargai kontribusi nyata daripada sekadar gelar. Mari kita dorong para tokoh publik, termasuk politisi, untuk berkontribusi dalam bidang keahlian mereka tanpa harus terobsesi dengan gelar akademis tertinggi (walaupun tidak ada salahnya).
Yakinlah, pada akhirnya yang akan dikenang oleh sejarah bukanlah gelar yang disandang, melainkan jejak nyata yang ditinggalkan untuk kemajuan bangsa dan peradaban. Semoga.
(*/Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik – Tinggal di Australia)
Fans
Fans
Fans
Fans